Potret
pendidikan di Indonesia masih mengecewakan. Banyakya perilaku timpang yang
menerpa dunia pendidikan, menjadikan mutu pendidikan di Indonesia mengalami
degradasi. Munculnya paradigma tentang pendidikan “unggulan” dan “terbelakang” yang
seakan sudah melekat dalam benak para penyelenggara pendidikan dan masyarakat
di tanah air tercinta ini, menjadikan kondisi mental para penyelenggara
pendidikan maupun peserta didik tak kunjung sembuh.
Paradigma
pendidikan “unggulan” yang identik dengan pusat-pusat perkotaan, lumrahnya
fasilitas penunjang pendidikan hampir dipastikan merata. Namun tidak berbanding
terbalik dengan kondisi pendidikan yang berada di daerah pinggiran kota atau
bahkan di pedalaman, yang netabene lebih dikenal dengan pendidikan “terbelakang”
oleh masyarakat maupun stakeholder.
Hal
demikian harus segera diluruskan, baik oleh masyarakat pada umumnya maupun
stakeholder. Inilah yang menjadi benturan ketimpangan terhadap dunia
pendidikan. Sehingga penyelenggara pendidikan yang berada di perkotaan seakan
menjadi vaforit para wali murid untuk berbondong-bondong menyekolahkan anaknya
di daerah perkotaan dibandingkan dengan asal-muasal keberadaannya, yaitu daerah
pinggiran kota atau daerah pedalaman.
Tidak
hanya karena faktor perekonomian yang mendorong terjadinya urbanisasi,
melainkan dalam penyelenggaraan pendidikan juga masih sangat lumrah bermigrasi,
dengan harapan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari pada
mendapatkan pendidikan di daerah pinggiran kota atau bahkan di pedesaan dan
pedalaman yang tak bergaransi. Namun, perlu diketahui bahwa tulisan ini tidak
untuk membanding-bandingkan, tapi realitasnya demikian.
Paradigma
yang terbangun di masyarakat pun berkembang, bahwa penyelenggara pendidikan
yang notabene berada di pinggiran kota dan daerah pedalaman atau di pedesaan menjadikannya
seolah-olah sebagai penyelenggara pendidikan yang “terbelakang” dan kalah
dengan adanya paradigma pendidikan “unggulan” yang notabene berada di pusat-pusat
perkotaan. Paradigma tersebut mungkin juga tidak menjadi salah perkembangannya,
karena daerah pinggiran kota dan daerah pedalaman memang kurang diperhatikan,
baik oleh pemerintah pusat dan daerah maupun stakeholder.
Dari
segi fasilitas yang menunjang terhadap penyelenggaraan pendidikan, antara di
perkotaan sudah lebih baik dari pada di pinggiran kota dan daerah pedalaman
serta pedesaan. Contoh kecil misalnya; keberadaan laboratorium dan perpustakaan
sebagai penunjang aktivitas belajar mengajar yang sudah disediakan oleh
penyelenggara pendidikan di perkotaan, tidak banyak dimiliki oleh sekolah-sekolah
formal yang berada di pedalaman atau pedesaan, transformasi teknologi dan
informasi juga cenderung lamban, sehingga potret pendidikan di perkotaan dan
pinggiran kota serta pedalaman dan pedesaan terjadi ketimpangan dan cenderung diskriminatif.
Bagaimana
tidak, pemerintah atau bahkan stakeholder kurang memperhatikan segala penunjang
penyelenggara pendidikan yang berada di pedesaan, akan sangat sulit rakyat
Indonesia akan menjadi kaum intelektual dan berpendidikan jika perhatian
pemerintah maupun stakeholder hanya terpusat pada pembangunan perkotaan, dalam
bidang apapun, termasuk di dalamnya adalah penyelenggara pendidikan.
Semangat
pendidikan
Menurut Prof. H. Mahmud Yunus, yang dimaksud pendidikan ialah suatu usaha
yang dengan sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak yang bertujuan
untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak sehingga secara
perlahan bisa mengantarkan anak kepada tujuan dan cita-citanya yang paling tinggi.
Agar memperoleh kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukanya dapat
bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya.
Tidak jauh berbeda, menurut Ki Hajar
Dewantara, pendidikan adalah suatu tuntutan di dalam
hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntun segala
kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar sebagai manusia dan anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang
setinggi-tingginya.
Sedangkan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan yaitu sebuah proses
pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang
lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan yang diperoleh
secara formal tersebut berakibat pada setiap individu yaitu memiliki pola
pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya.
Perlu ditegaskan, bahwa semangat dalam penyelenggaraan pendidikan
di kota, pinggiran kota dan di desa atau bahkan di pedalaman memiliki tujuan
yang sama, yaitu mendidik dan membantu anak didiknya menjadi manusia yang
berpengetahuan luas (intelektualitas tinggi), sehingga mampu merealisasikan
tujuannya dan dapat memajukan serta memberikan manfaat bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Jika devinisi dan pengertian pendidikan demikian kita sepakati,
sudah seharusnya dan semestinya pendidikan tidak terkoptasi dalam paradigma pendidikan
“unggulan” maupun “terbelakang”. Karena semangat penyelenggaraan pendidikan
sama, ingin melahirkan kaum terdidik yang tingkat intelektualitasnya tinggi
serta mendorong peserta didiknya agar mampu mencapai tujuannya, tentunya dapat
bermanfaat bagi dirinya, lingkungannya, serta hidup orang banyak.
Terjadinya ketimpangan dalam dunia pendidikan disebabkan oleh
banyak faktor, termasuk perhatian pemerintah bagi penyelenggara pendidikan yang
berada di pinggiran perkotaan, pedalaman atau pedesaan. Lemahnya tranformasi
teknologi dan dukungan sumber daya manusia sebagai tenaga pengajar dan tak
kalah gawatnya adalah ketersediaan bangunan sekolah dan daya dukung aktivitas
belajar mengajar lainnya juga menjadi hambatan serius tercapainya tujuan
penyelenggaraan pendidikan.
Disamping itu, stakeholder (masyarakat) juga berperan penting
dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan. Perhatian serta dukungan
masyarakat juga sangat diperlukan, agar penyelenggara pendidikan mampu
memaksimalkan perannya dalam mendidik dan menghasilkan peserta didik yang
sesuai dengan tujuan dasar pendidikan serta membuang jauh lestarinya paradigma
“unggulan” dan “terbelakang”.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan terhadap mutu pendidikan
juga harus mawas diri, perhatian yang hanya terpusat pada pembangunan perkotaan
sudah semestinya harus digeser untuk memajukan daerah pedalaman maupun pedesaan.
Agar pendidikan menjadi manfaat bagi perkembangan serta pembangunan bangsa dan
negara kedepan, penting untuk dilakukan supaya pemerataan pendidikan antara
perkotaan dengan pedesaan segera terealisasikan.
Maka kesan diskriminatif terhadap pendidikan yang notabene berada
di perkotaan dengan di pedesaan tidak terjadi. Keadilan dalam mengenyam
pendidikan dengan mutu yang sama antara perkotaan dengan pedesaan akan
dirasakan oleh pelajar yang sedang mengikuti jenjang pendidikan secara formal.
Tidak terkoptasi oleh paradigma yang merugikan dunia pendidikan itu sendiri.
Pemerintah dan stakeholder sudah saatnya membuang jauh-jauh
paradigma pendidikan “unggulan” maupun “terbelakang” yang akan menyebabkan kita
terjebak dalam pengertian dan pemahaman yang sempit, kini saatnya bahu-membahu
mendorong penyelenggara pendidikan agar supaya mampu mencapai tujuan pendidikan
itu sendiri, bukan terjebak oleh paradigma yang merugikan. Sehingga tanggung jawab
suksesnya penyelenggaraan pendidikan tidak hanya terbebankan kepada pemerintah
dan pihak penyelenggara pendidikan saja, namun peran stakeholder juga menjadi
penentu susksesnya penyelenggaraan pendidikan yang baik.
Ahmad Fairozi, Lahir
di Sumenep, suka menulis dan membaca, sekarang tinggal di Kota Batu.
Dilansir dari: www.kompasiana.com/fairoziahmad
0 komentar :
Posting Komentar