Oleh: Ahmad
Fairozi*
Ingkar terhadap janji-janji politik sudah menjadi
hal yang seakan lumrah dipraktekkan. Tidak merasa jika pemimpin negeri ini berhutang
janji kepada rakyatnya, bahwa dirinya telah mendzolimi rakyat yang telah memberikan
mandat berupa kepercayaan kepada mereka selama ini. Terjadi secara sistematis,
dari generasi ke generasi lainnya, berulang-ulang tanpa kejelasan yang pasti
terhadap rakyat yang telah menaruh harapan besar bagi perubahan bangsa ini.
Tidak heran jika kemudian ungkapan Thomas
Jefferson patut menjadi tamparan keras terhadap para pemimpin di negeri ini. “Jika syarat masuk surga
itu harus masuk partai politik, saya lebih memilih tak mau menjadi anggota
partai politik”. Ungkapan itu menunjukkan ketidakpercayaan mendalam terhadap
elit politik yang notabene bertindak sebagai para pemimpin negeri ini.
Di Indonesia, praktek kedustaan seakan menjadi hal
yang tidak aneh, karena dianggap sudah menjadi hal biasa, itulah yang terjadi
di negeri kita ini. Praktek kotor untuk mendapatkan simpati rakyat dilakukan,
maraknya politik uang, kebijakan tidak pro rakyat kecil dan penegakan hukum
yang tidak adil telah meracuni para pemimpin bangsa ini. Korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) dilakukan secara terang-terangan. Dampaknya, lagi-lagi rakyat
menjadi korban atas menjamurnya kedustaan yang merajalela diseluruh penjuru
negeri ini.
Citra negatif para pemimpin
negeri ini menunjukkan arogansinya dengan berperilaku transaksi kepentingan
pragmatis yang menyimpang. Selaras dengan ungkapan Sayidina Ali,
“Sesungguhnya golongan elite ini adalah yang paling memberatkan wali negeri
dalam masa kemakmuran, paling kecil memberikan bantuan saat terjadi musibah,
paling tidak menyukai keadilan, paling banyak permintaannya secara
terus-menerus, tetapi paling sedikit rasa terima kasihnya jika diberi, paling
tidak siap menerima alasan jika ditolak, dan paling lemah kesabarannya jika
berhadapan dengan berbagai bencana”.
Setidaknya, perilaku negatif
tersebut harus dihindari dengan menjaga kepercayaan rakyatnya. Karena manusia
merupakan makhluq mulia yang mempunyai akal. Meminjam ungkapan Aristoteles, yang
membedakan manusia dengan binatang adalah kemampuan membedakan yang baik dan
buruk, adil dan zalim, yang memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang
dapat membedakan kebaikan dengan keburukan.
Dengan demikian, sebagai pemimpin, semestinya menjadi arena
pertukaran gagasan bijak, perjuangan aspirasi rakyat, akuntabilitas dan
profesionalitas. Bukan sebaliknya, sebagai penghianat rakyat yang tidak bertanggung
jawab dan lemah disaat berjuang menegakkan keadilan demi tegaknya kebenaran.
Potret perilaku kedustaan terhadap rakyat jangan diabaikan, kesewenang-wenangan
akan menimbulkan kerugian besar bagi bangsa ini. Sejauh ini, kesibukan para pemimpin
bukanlah menawarkan isi, melainkan kemasan. Bukanlah mendalami basis moral dan
visi bangsa serta negara, melainkan sekadar memperhatikan hasil rekayasa
survei.
Para pemimpin tidak diperuntukkan sebagai perwujudan dari aspirasi
rakyat dan perjuangan bersama, melainkan sebagai alat mobilisasi terhadap
kepentingan pribadi dan kelompok yang jauh dari kesejahteraan kolektif.
Ujungnya, rakyatlah yang dirugikan, oleh karena arogansi pemimpin yang tidak mementingkan
kepentingan rakyatnya, namun lebih pada kepentingan pragmatisnya. Kepercayaan rakyat
terhadap para pemimpin negeri ini adalah bentuk pertaruhan keutuhan bangsa dan
negara kedepan. Apabila pemimpin sudah tidak berjalan sesuai dengan tugas,
pokok dan fungsinya, maka akan tinggal menunggu ketercerai beraian bangsa
maupun negara ini.
Ada fakta menarik yang masih dilestarikan hingga kini. Di Indonesia,
apabila pemimpin terindikasi melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), seakan
angkuh dengan pendiriannya dan berakting tidak melakukannya dengan membuat
kegaduhan, bahwa yang bersangkutan tidak melakukan hal tersebut. lebih parah
lagi, sudah terbukti melakukan tindakan KKN pun terkadang enggan untuk mundur
dari jabatannya sebagai pemimpin.
Sangat berbeda dengan kondisi para pemimpin di Jepang, apabila
seorang pemimpin sudah terindikasi melakukan tindakan KKN, terlibat skandal,
atau tidak mampu menangani persoalan, para pemimpin langsung mengundurkan diri
dari jabatannya secara sukarela. Mengapa demikian? Karena sejatinya kepercayaan
rakyat menjadi keistimewaan yang harus dijaga oleh para pemimpin negeri ini,
agar rakyat tidak alergi dengan iklim demokrasi yang kita terapkan, dimana
dalam demokrasi kekuasaan mutlak adalah milik rakyat.
Tidak untuk hanya mementingkan karir jabatannya sebagai pemimpin semata,
lebih dari pada itu, bertanggung jawab atas tegaknnya keadilan secara menyeluruh
terhadap rakyatnya. Tidak ada yang lebih penting dari keselamatan dan tegaknya keutuhan
bangsa dan negara ini, karena itu, setiap pemimpin harus berjiwa besar, mengedepankan
kepentingan rakyatnya, serta siap mengorbankan apa pun demi kebaikan bangsa dan
negara.
Pemimpin yang tidak memiliki jiwa demikian, dengan hanya
memperjuangkan kepentingan diri dan kelompoknya serta tega berkhianat dan
membohongi rakyatnya, tak pantas berambisi untuk menjadi pemimpin di negeri
ini. Dekadensi pemimpin berakibat pada miskin gagasan, miskin etika, miskin
pelayanan dan tanggung jawab. Situasi inilah yang melahirkan ketidakpercayaan rakyat
terhadap para pemimpin yang perlu diantisipasi sebagai ancaman keutuhan bangsa
dan negara kedepan.
Keadaan dimana kondisi demokrasi telah sampai pada level kritis
dan sangat merisaukan, telah menjadi teguran keras seperti yang dikemukakan
oleh Robert Maynard Hutchins, “Kematian demokrasi bukanlah karena pembunuhan
oleh penyergapan secara tiba-tiba, tetapi merupakan kepunahan secara perlahan
yang disebabkan oleh apatis, ketakhirauan, dan kemelaratan”. Maka pemimpinlah
yang paling bertanggung jawab atas keberlanjutan serta keutuhan bangsa dan
negara kedepan.
Jadilah pemimpin yang amanah sesuai janji-janji politiknya,
janganlah engkau hianati rakyatmu yang menaruh harapan besar bagi majunya
bangsa ini, hanya karena demi membela pribadimu dan kelompokmu yang akan membawa
bencana, yaitu ancaman keutuhan serta beberlanjutan bangsa dan negara ini di
masa depan.
*)Lahir di
Sumenep, suka menulis dan membaca, sekarang tinggal di Kota Batu.
dilansir dari www.kompasiana.com/fairoziahmad
0 komentar :
Posting Komentar