“Saya kurang setuju dengan isi sambutan Kang Udin saat perayaan ulang
tahun partai di Surabaya itu?” kata seorang anggota, membuka
percakapan, di pertemuan yang tidak disengaja, di depan gedung
sekretariat.
“Isi sambutan yang mana? harus punya dasar yang jelas kalau tidak menyepakati sesuatu!” sambut anggota yang lain.
“Betul. Penyangkalan itu harus disertai dasar yang kuat, bukan
sekadar melempar kata-kata, lalu lepas tanggungjawab,” sambut anggota
lain lagi.
“Seingatku, Kang Udin kurang lebih mengatakan begini, kalau bisa ya
pejabat menteri negara yang dari partai kita perlu ditambah.”
“Bukannya itu permohonan yang wajar? Tak ada yang keliru.”
“Menurutku itu cerminan mental peminta, tidak lebih berbeda dari
pengemis. Partai ini bukan gerbong pengemis, tapi gerbong gerakan.
Betul, tidak, Kang Kaji?” seorang anggota yang dari tadi terlihat
penasaran angkat bicara.
Seseorang yang dipanggil Kang Kaji mengangguk. “Betul.”
“Kata-kata Kang Udin masih sangat jelas terngiang di telinga. Padahal
waktu itu, aku berjubel di antara kerumunan para anggota yang mulutnya
menganga oleh kedatangan Pak Mamat. Mereka terlihat sangat senang dengan
kedatangan presiden.”
“Ah, aku tidak yakin mereka terhipnotis oleh kedatangannya. Aku
curiga, mereka lebih terhipnotis oleh kotak berwarna gelap yang dibawa
Pak Mamat.”
“Aku setuju, bukannya setelah memberi sambutan, Pak Mamat memberikan
kotak itu pada Pak Udin? Aku tidak yakin itu berisi kue ulang tahun.”
“Aku juga tidak yakin itu hadiah sederhana. Pasti ada udang di balik batu.”
“Kata temanku yang bekerja di salah satu negeri di eropa, no free lunch!”
Semua tertawa, berderai, meski belum mampu mengusir dingin dari seluruh tubuh.
“Setuju! Di dunia ini memang tidak ada yang gratis. Hati-hati dengan
pemberian hadiah, pasti ada kepentingan terselubung yang diselipkan.
Kalau tidak, ujung-ujungnya pasti dikejar-kejar KPK atas tuduhan telah
menerima hadiah yang terbungkus kepentingan politik.”
Sekali lagi tawa berderai. Kaji mengambil sebungkus rokok. Dicomotnya
satu batang, lalu melemparkan bungkus rokok itu tepat di tengah-tengah
anggota yang melingkar. Kaji memasukkan sebatang rokok itu di bibir,
lalu membakarnya tepat di ujung. Satu orang anggota yang terlihat lebih
muda beranjak berdiri, menawarkan membeli kopi. Katanya, seperti ada
yang kurang kalau merokok tanpa disandingi kopi. Seperti pepatah
orang-orang Madura, asongkok tak akalambhi, memakai kopiah tapi tak mengenakan baju.
“O ya, Kang Kaji, anggota ranting sebelah dengar-dengar dilarang turun aksi saat Pak Mamat datang ke Surabaya waktu itu?”
“Dilarang bagaimana? Sekarang bukan lagi zaman rezim orde baru yang penuh dengan tekanan.”
“Bukan dilarang, tapi anggota di ranting sebelah harus dimediasi dulu sebelum berangkat ke Surabaya.”
“Alasannya?”
“Mereka ingin mengadakan aksi atas ketidaksetujuan mereka terhadap rencana pemerintah yang hendak menaikkan harga bahan bakar.”
“Kenapa tidak boleh? Bukannya memang benar, Pak Mamat itu tak
memiliki sikap yang tegas, tak punya pendirian, pengambilan keputusannya
tak berorientasi pada masa depan. Di awal kepemimpinanya langsung
membuat kejutan dengan menaikkan harga bahan bakar, lalu pelan-pelan
menurunkan, sebentar kemudian menaikkan lagi, menaikkan lagi hingga
mencekik leher rakyat.”
“Ya mau bagaimana lagi, Pak Mamat selalu punya cara untuk memuluskan
semua kepentingan. Entahlah apa yang sudah dijanjikan Pak Mamat ke Kang
Udin sebagai pimpinan tertinggi partai kita, tak ada keributan sedikit
pun saat Pak Mamat datang ke Surabaya.”
Kaji menyeringai. “Bukan pimpinan namanya kalau tidak cerdas. Cerdas mengelabuhi, juga cerdas meredam pemberontakan.”
“Mulai remang-remang, apa ini yang disebut bahwa partai kita independen?”
“Tanpa idealisme bukan independen namanya. Independen itu hanya istilah keren untuk menarik diri dari barisan partai induknya.”
“Tak heran kalau partai ini diminta kembali bergabung dengan partai induk. Tak ada gunanya independen kalau toh akhirnya menyelubungkan diri dalam kepentingan politik.”
“Serba susah! Semuanya sudah dihadapkan pada lingkaran kepentingan.
Tidak peduli meski idealisme tergadai asal kepentingan tercapai.”
Tiba-tiba sunyi merayap. Masing-masing dari mereka yang berkumpul, membayang kalimat tadi. Tidak peduli meski idealisme tergadai asal kepentingan tercapai.
Pelan-pelan ingatan Kaji meraba isi berita media massa belakangan
hari ini, kira-kira dua minggu setelah perayaan ulang tahun di Surabaya.
Kolom berita koran sesak oleh perseteruan Kemenpora dan PSSI. Padahal,
masih hangat sajian berita mengenai artis yang nyambi sebagai penjaja kelamin. Seperti seorang pedagang kaki lima, yang menghampar jualan di atas trotoar demi menambah penghasilan.
Detik demi detik berlalu. Pertemuan tak sengaja malam itu nyaris
menemui jalan buntu, sebelum akhirnya seseorang kembali memecah suasana
yang bisu.
“Sebenarnya saya masih penasaran dengan pendapat Kang Kaji yang di
awal. Partai ini merupakan gerbong pergerakan, bukan partai yang
menengadahkan tangan meminta-minta, menarik kalau dikaji, Kang.”
“Beberapa tahun yang lalu, para anggota risau karena bos-bos kita
tidak duduk di kursi pemerintahan. Mereka juga risau memikirkan nasib
rakyat, aktif menolak segala kebijakan pemimpin yang tidak memihak pada
rakyat kecil.”
“Itu sudah biasa. Mereka yang tidak diberi kekuasaan seringkali
memberontak, bahkan tidak jarang bersikap oposisi. Anjing kalau lapar,
kelakuannya pasti melolong, tapi coba saja lemparkan tulang, binatang
itu takkan bersuara bahkan menguap kekenyangan.”
“Itulah yang terjadi di dalam tubuh partai ini. Bos-bos kita sudah
banyak ditarik mendampingi Pak Mamat. Semua wajah sumringah, akhirnya
semua pinta terkabul. Hampir separuh orang-orang yang membantu Pak Mamat
berasal dari partai kita. Tapi, seperti orang yang sedang kelaparan, ia
bungkam setelah perutnya kenyang.”
“Hati-hati, jangan asal bicara!”
“Ini fakta yang berbicara. Saat ini anggota partai lebih sering
bungkam daripada berteriak. Mereka lebih banyak meringkuk di dalam
kantor daripada turun ke jalan menolak ketertindasan yang menimpa kaum
lemah. Harga bahan bakar minyak seperti ditarik ulur, semacam pasang
surut gelombang di lautan. Harga sembako melambung, mengawang tak bisa
dijangkau. Pak Mamat tak berani mengambil sikap atas kasus gesek
menggesek, ia lebih banyak mendengarkan daripada mengambil keputusan.”
“Semacam bingung mau mengambil keputusan.”
“Jadi kita tidak berani menuntut lantaran pendamping Pak Mamat lebih banyak berasal dari partai gerakan?”
“Tidak hanya itu. Kondisi ini ibarat kita terlempar ke dalam kandang
yang sudah penuh dengan makanan. Tak berani melangkahkan kaki karena
mulut sudah dibungkam oleh berbagai proyek politik pengambil kebijakan.”
Anggota lain mengangguk-angguk. Perkataan Kaji masuk akal meski
dengan bahasa yang cukup kasar. Beberapa anggota menoleh, takut ada
pengurus ranting yang sengaja menguping. Kalau ketahuan, akibatnya
sangat fatal, bisa-bisa mereka dicoret dari daftar aliran lauk-pauk.
“Bagaimana kalau kita ganti saja nama partai ini jadi GGP?”
“Semacam GGS? Ganteng-Ganteng Supir, eh, Serigala, maksudku.”
“Betul. Tapi yang ini tidak selebay sinetron itu. GGP, Gerbong Gerakan Peminta, bagaimana?”
“Wusss jangan ngaco. Partai kita adalah yang terbesar di
negeri ini. Memiliki lebih dari dua ratus ranting yang tersebar di
seluruh sudut negeri. Namanya sudah menggaung, lebih menggema dari auman
singa.
“Setuju. Partai ini sudah menelorkan tokoh besar semacam Cak Roni
yang mampu menggerakkan seluruh gerbong pemuda saat tragedi 1998.”
“Yang menjadi aktor terbukanya gerbang reformasi itu?”
“Benar. Sejak saat itu kita mulai bisa bebas berbicara, bebas mengeluarkan pendapat. Semuanya berubah menjadi serba bebas.”
“Iya, tapi bukan berarti juga seenaknya sendiri berbicara, harus santun dan beretika.”
Malam semakin larut. Udara semakin dingin. Pembicaraan semakin tak tentu arah, ngalor-ngidul kesana-kemari.
“Ngomong-ngomong soal reformasi, kondisi negeri sudah berubah total.
Kita tidak bisa mengulang sejarah 1998, menumbangkan rezim yang sedang
berkuasa untuk merubah kondisi negeri. Kita hidup di zaman yang sudah
lebih maju.”
“Itu menurut orang-orang yang malas berjuang, kan?”
“Bukan! Itu menurut pengamatan sederhana yang kulakukan.”
“Jangan sembarangan melakukan pengamatan, ini berbicara tentang masa depan bangsa.”
“Pengamatan lebih bermartabat daripada menerima hadiah yang tak jelas
asal sumbernya. Saat ini bukan caranya lagi memperbaiki kondisi negeri
dengan menggulingkan pemerintah. Hampir di setiap kesempatan
gerakan-gerakan aksi menyuarakan hendak menurunkan Pak Mamat. Mereka
berteriak tanpa disertai bukti yang kuat. Tak heran kalau mereka lebih
mudah diringkus oleh pasukan pengaman Pak Mamat yang gagah-gagah itu.
Bukankah itu lebih bodoh dari tindakan paling bodoh?”
“Jadi seharusnya bagaimana? Gerakan turun jalan masih dianggap pilihan paling keren saat ini.”
“Tidak juga. Kalau memang mau memajukan negeri ini, harus dimulai
dari hal-hal kecil. Tak perlu memimpikan gerakan besar seperti yang
dilakukan Cak Roni, sudah tak laku.”
“Jadi?”
“Dari hal-hal kecil. Di sekolah, guru tidak boleh membiarkan siswanya
menyontek, apalagi saat ujian nasional. Karyawan tidak boleh terlambat
datang ke kantor, itu korupsi waktu. Mahasiswa tidak boleh terlalu lama
ngopi di warung, lebih baik dihabiskan untuk hal-hal yang produktif,
menulis misalnya.”
Kaji mengangguk-anggukkan kepala. Kopi di gelas plastik sudah tinggal sedikit, hampir menyisakan ampas hitam di dasar gelas.
“Sayangnya sangat sedikit anggota partai yang memiliki pemikiran
seperti itu. Kita masih tertarik melakukan gerakan yang terlihat
daripada yang lebih bernilai.”
Semua yang berkumpul di depan sekretariat bergeming. Meski
pembicaraan tidak runtut seperti aliran sungai yang mengalir dari hulu
ke hilir, tapi setiap kata yang terlontar selalu masuk akal. Pendapat
yang satu diperkuat dengan pendapat yang lain. Malam itu mereka
benar-benar gelisah, sekaligus dingin semakin menggigil.
“Dengar-dengar dua hari yang lalu akan ada demo besar-besaran,
menolak kunjungan Pak Mamat di kota, tapi saya lihat tak ada barisan
demo di seluruh sudut kota.”
“Jelas tak ada, Pak Mamat itu diam-diam menghanyutkan. Tidak banyak
rayuan tapi otaknya lebih gemulai dari tubuh ular,” ucap Kaji.
Anggota yang lain tercengang, tak mengerti.
“Kang, jangan berkata sembarangan kalau tidak memiliki dasar yang benar.”
Kaji tertawa, giginya menyeringai.
“Kalian tidak tahu! Jauh-jauh hari sebelum berkunjung ke kota ini,
Pak Mamat sudah mengundang para pimpinan organisasi pemuda ke istana
negara. Tidak penting apa yang mereka bicarakan, tapi hasilnya sangat
jelas, dua hari yang lalu tak ada demo di tengah kota.”
“Aku curiga.”
“Curiga atas apa?”
“Kesepakatan antara Pak Mamat dengan Kang Udin.”
“Kesepakatan apa? Yang jelas kalau berbicara!”
“Kesepakatan untuk tidak ada demo saat Pak Mamat menghadiri perayaan ulang tahun partai kita di Surabaya.”
“Betul. Saya juga curiga, jangan-jangan sudah ada pembicaraan khusus antara keduanya.”
“Kang Kaji ingat, kan? Selesai memberikan sambutan, Pak Mamat
memberikan satu kotak berwarna gelap berukuran agak besar kepada Kang
Udin.”
Kaji mengangguk, kepalanya sedikit diangkat ke atas. “Memangnya ada apa dengan kotak gelap itu?”
“Itu tidak mungkin kue ulang tahun, kan?”
“Kalau bukan kue ulang tahun, lalu apa?”
“Uang, pasti kotak itu berisi uang.”
“Jadi Pak Mamat telah memberikan uang pada Kang Udin agar tak ada gerakan pemuda yang melakukan demo?”
“Aku baru ingat. Sepulang dari acara di Surabaya itu, sekretaris Kang
Udin yang juga teman dekatku tanpa sengaja membocorkan sesuatu.”
“Apa?”
“Kotak itu memang berisi uang. Pak Mamat memberikannya pada Kang Udin
sebagai sumbangan sekaligus peredam agar organisasi pemuda tak
menentang setiap kebijakan pemerintah.”
Latif Fianto, lahir di Sumenep, pecinta buku, suka membaca dan menulis, sekarang tinggal di Malang.
0 komentar :
Posting Komentar