Gedung-gedung tinggi dan berbagai macam pusat perbelanjaan seringkali
dijadikan identitas wajah sebuah kota. Kemegahan dan keglamoran
seringkali menjadi simbol kemajuan. Akibatnya Ruang Terbuka Hijau (RTH)
di kawasan kota dikesampingkan bahkan nyaris tidak ada. Hal ini
dimungkinkan akan terjadi di Malang, ketika hutan Malabar, satu-satunya
RTH di kawasan kota, mulai dilakukan pembangunan dalam rangka
revitalisasi hutan kota.
Hutan Malabar merupakan satu-satunya hutan kota di Malang. Hutan yang
dibentuk sejak tahun 1998 tersebut memiliki luas 16.728 meter persegi.
Berada di sebelah barat pasar Oro-Oro Dowo atau di jalan Malabar,
sebelah timur Gereja Ijen Kota Malang, hutan Malabar ini awalnya sebuah
lapangan sepak bola yang dijadikan tempat bermain bola oleh anak-anak
kampung sekitar. Kemudian muncullah gagasan untuk merubah kawasan
tersebut menjadi hutan kota hingga sekarang.
Dewasa ini, seiring waktu dan proses pembangunan yang digalakkan oleh
pemerintah, mencuat kebijakan untuk merevitalisasi keberadaan hutan
tersebut. Semacam upaya untuk memperindah dan menambah fungsi hutan agar
lebih kontekstual, yang proses pembangunannya sudah dilakukan. Sebuah
kebijakan yang kemudian menuai sikap kontroversi dari berbagai elemen
masyarakat Malang.
Hal ini bisa dilihat dari aksi penolakan yang dilakukan oleh
masyarakat dan beberapa organ organisasi. Sebut saja aksi protes yang
dilakukan oleh aktivis lingkungan Malang yang memprotes upaya
revitalisasi tersebut. Hal serupa juga dilakukan oleh para seniman dan
gerakan mahasiswa. Wujud sikap ini sebagai bukti bahwa keberadaan hutan
kota teramat sangat penting keberadaannya.
Sebuah kenangan pahit tentu masih teringat jelas di kalangan aktivis
pecinta lingkungan. Beberapa puluh tahun yang lalu, hutan kota pernah
berdiri di atas tanah bekas kampus Akademi Penyuluhan Pertanian (APP)
Malang. Sayangnya, hutan tersebut kemudian beralih fungsi menjadi
perumahan, hotel dan pusat perbelanjaan. Beberapa bukti lainnya bisa
dilihat dari peralihan beberapa RTH sebelumnya, seperti di kawasan
Stadion Gajayana yang menjelma menjadi pusat perbelanjaan, Taman Kunir
menjadi kantor Kelurahan, dan Taman Indrokilo yang disulap menjadi
perumahan bernuansa glamor.
Sesuai Undang-Undang nomor 26 tahun 2007, RTH terbagi menjadi dua
jenis, yaitu Ruang Terbuka Publik dan Ruang Terbuka Privat. Berdasarkan
pasal 29 ayat (2) dan (3) undang-undang tersebut, proporsi RTH pada
wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota, sedangkan
khusus untuk RTH publik proporsi luas yang harus disediakan oleh
pemerintah paling sedikit seluas 20 persen luas wilayah kota.
Kandungan isi Undang-Undang ini tentu sangat bertolak belakang dengan
fakta yang terjadi di Malang. Ruang terbuka hijau yang tersedia sampai
saat ini sudah tersisa 2,5 persen dari luas wilayah Kota Malang yang
mencapai 110,6 kilometer persegi.
Pembangunan infrastruktur megah dan mewah memang penting dan sangat
membanggakan, namun harus diperhatikan bahwa kerapkali pembangunan
tersebut menggeser bahkan meniadakan ruang terbuka hijau. Kerena itu,
pembangunan yang dilaksanakan harus diimbangi dengan tersedianya ruang
terbuka hijau sesuai dengan aturan yang tersirat dalam undang-undang.
Berdasarkan pada semakin sempitnya RTH di Malang, menjadi bukti bahwa
revitalisasi hutan kota dengan dalih tidak mengubah fungsi sebenarnya
dari hutan hanya ucapan retorika belaka. Semacam pemanis bibir, serupa
polesan lisptik untuk merayu masyarakat agar memiliki pemikiran yang
selaras dengan kemauan pemerintah. Hal ini bukan kecurigaan yang
didasarkan pada azas praduka tak bersalah, melainkan logika berpikir
yang didasarkan pada kenyataan telanjang di lapangan.
Dalam perspektif teoritis akademis, upaya revitalisasi hutan,
penambahan fungsi atau apapun namanya, ketika sudah merubah atau
membangun infrastruktur di area hutan akan berdampak signifikan pada
keberlangsungan ekologis hutan. Pembangunan infrastrukur di area hutan
akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan ekologi dan mempercepat
pemanasan global.
Jika ditilik dari aspek fungsi dan kemanfaatan, RTH di kawasan
perkotaan merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan
menjaga lingkungan perkotaan agar tetap sehat, bersih dan sejuk. Selain
itu, RTH akan menjadi pengendali kerusakan tanah, pencemaran udara dan
air serta menjaga keberlangsungan keanekaragaman hayati.
Mengacu pada revitalisasi keberadaan hutan Malabar, secara
pelan-pelan namun pasti akan berdampak luar biasa terhadap lingkungan.
Pemasangan paving, pembuatan kolam dan tempat bermain sudah bisa
dipastikan akan mengurangi jumlah lubang serapan air, semakin
berkurangnya ketersediaan udara bersih serta berbagai kerusakan ekologis
lainnya.
Hal tersebut adalah rantai mematikan yang akan mengikis keberadaan
satu-satunya RTH di Malang. Kalau kejadian ini dibiarkan begitu saja,
bisa dipastikan, sepuluh tahun yang akan datang Malang akan berubah
menjadi kota beton. Banjir terjadi dimana-mana, udara akan semakin
panas, dan masyarakat tidak akan lagi menghirup kesiur angin yang
sepo-sepoi. Di saat itu terjadi, bisa jadi, hutan Malabar akan serupa
taman Indrokilo berikutnya.
Sebagaimana diketahui, pembangunan revitalisasi hutan Malabar sudah dilakukan PT Amerta Indah Otsuka dengan menggunakan dana Corporate Social Responsibility
(CSR) sebesar 2,5 miliar. Pembangunan hutan Malabar merupakan salah
satu kebijakan yang dilakukan pemerintah. Kebijakan yang boleh dibilang
tidak bisa disebut kebijakan publik melainkan kebijakan sepihak.
Kebijakan penuh tendensi yang jauh dari transparansi publik.
Sudah diketahui bersama, sejak digulirkannya gerakan reformasi
politik 1998, kebijakan birokrasi dituntut berubah total, yaitu harus
memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi. Hal ini perlu
dilakukan untuk menuju penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan
efisien (Good Governance). Transparansi publik merupakan indikator yang
sangat penting dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik. Oleh sebab itu,
salah satu praktek good governance yaitu menuntut pemerintah
menjamin keterbukaan informasi, baik mengenai proses kebijakan publik,
alokasi anggaran yang disalurkan untuk implementasi kebijakan maupun
evaluasi dan kontrol terhadap kebijakan yang diterapkan.
Dengan demikian, seharusnya kebijakan revitalisasi hutan Malabar bisa dengan mudah diakses oleh masyarakat. Blue print
kebijakan dan desain pembangunan revitalisasi hutan harus jelas dan
diketahui oleh masyarakat luas. Bagian mana yang akan dibangun dan
bagaimana pembangunannya juga harus bisa diakses dengan mudah. Jika
sebelumnya hal semacam ini dilakukan, bisa dipastikan pemerintah tidak
akan menuai sikap penulakan dari berbagai elemen masyarakat.
Latif Fianto, lahir di Sumenep, pecinta buku, menulis cerpen dan opini, sekarang tinggal di Malang.
Dilansir dari malangtimes.com
0 komentar :
Posting Komentar