Gelar akademis yang sekarang ini dikejar-kejar
banyak orang sekolahan ternyata tidak penting bagi Kiai Hasan Basri Said (71),
salah seorang kiai yang hingga kini tetap setia mengamati pergerakan
benda-benda langit; menggeluti disiplin keilmuan paling unik di pesantren, ilmu
falak. Bagi Kiai Hasan Basri, model pendidikan yang berorientasi pada gelar itu
tidak akan memberikan kebanggaan apa-apa.
Ilmu yang berorientasi pada gelar dan kelulusan
tidak akan bisa dinikmati sebagai ilmu itu sendiri karena pastinya tidak akan
ada inovasi; tidak ada penemuan baru. Lihat bagaimana orang sekolahan hanya
berputar-putar pada pakem dan target materi yang sudah baku. Lalu lihat
bagaimana para sarjana yang hanya bersibuk dengan urusan teknis: bagaimana
ilmunya bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan penghidupan, mencari dan
memperbanyak uang. Bukankan seharusnya sebuah ilmu itu mandiri dan tidak goyak
oleh apapun jua, apalagi sekedar uang. Biarkan ilmu itu terus berkembang untuk mencapai
suatu peradaban yang setinggi-tingginya.
Dengan bangga Kiai Hasan Basri menunjukkan satu
alat teropong bintang yang diciptakannya sendiri, yang mampu mengukur dan
mengamati gerak gerik benda langit, juga untuk mengukur arah kiblat. Alat itu
terbuat dari rangkaian pipa, termasuk pipa pengintip, dilengkapi dengan
penggaris bulat, kompas, benang dan bandulan kecil.
Jika anda melihat dan coba memakai alat itu pasti
kesan bahwa orang Indonesia, lebih-lebih orang pesantren, banya bisa memakai
dan mengkonsumsi teknologi yang diciptakan oleh Barat itu akan hilang seketika.
Sebenarnya kita bisa mencapai peradaban teknologi tinggi seperti Barat namun
kita atau pemerintah kita enggan mencobanya. Kita hanya senang mengkonsumsi.
Bisa dibayangkan, seharusnya kita tidak butuh waktu lama untuk merubah alat
sederhana buatan Kiai hasan Basri menjadi alat modern yang terbuat dari bahan
yang lebih awet. Namun proses panjang sebuah keilmuan dalam hal ini ilmu falak
sehingga mampu menciptakan teropong bintang itu ternyata sudah terlampaui oleh
orang-orang pesantren, paling tidak oleh Kiai Hasan Basri.
Maka, hal terpenting ketika seorang mengaku telah
”belajar”, kata Kiai Hasan Basri, adalah bagaimana berperan dalam masyarakat
melalui ilmu yang didapat. Ini yang seharusnya dibanggakan. Jadi orang kemudian
tidak sekedar mentereng hanya gara-gara bergelar tinggi tapi bagaimana ”hasil
belajarnya” dapat berefek kepada dalam kehidupan masyarakat sekitarnya.
Apa boleh buat. Saat ini orang belajar hanya
untuk mencari gelar. Ilmu itu sendiri tidak berarti apa-apa. Lebih-lebih
disiplin keilmuan yang dikejar-kejar oleh orang-orang sekolahan hanyalah yang
dibutuhkan untuk kepentingan mencari pekerjaan, bukan ilmu yang penting
dikembangkan untuk mencapai peradaban tinggi. Ilmu falak atau ilmu astronomi
misalnya tidak akan banyak peminat karena tidak menjanjikan pekerjaan yang
mentereng, posisi terhormat, atau uang banyak.
Kiai Hasan Basri Said lahir pada 1935 di sebuah
kota kecil di daerah Gresik, Jawa Timur. Sejak kecil ia belajar di satu
madrasah di daerahnya. Lalu setelah merasa cukup usia ia beranjak ke pesantren
Gontor Ponorogo. Di sana dia berdiam selama 6 tahun. Hasan Basri Muda pernah
tiga kali menempuh pendidikan tinggi namun tidak pernah lebih dari satu
semester. Ia pernah belajar di UII Yogyakarta, lalu ke Kedokteran UNAIR 1
semester, dan lalu ke kedokteran hewan Universitas Brawijaya Malang 1 semester.
”Saya ngeri kalau harus praktek dengan membedah babi,” katanya. Baginya belajar
di kampus memang tidak perlu menyita waktu terlalu lama. Setelah merasa cukup
mengenyam dunia kampus, ia merantau ke pulau Kalimantan.
Kiai Hasan Basri pernah menjadi sukarelawan di
satu klinik yang didirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) di daerah
Gresik. Klinik itu ada mula-mula sebelum kemudian organisasi Islam Muhammadiyah
dan yang lainnya juga mendidikan layanan kesehatan di sana. Lalu ia pindah
menggeluti dunia koperasi hingga kini. Gaji yang diterimanya dari kantor
koperasi lumayan untuk membiayai tiga orang anaknya yang sukarang sudah beranjak
besar. Namun di tengah aktivitas apapun, satu yang tidak pernah dia lupakan
adalah bahwa dia seorang pecinta ilmu falak.
Dia belajar ilmu falak sejak kecil. Ia pernah
belajar kepada Kiai Romli Hasan, seorang pakar ilmu falak di daerah Gresik.
Lalu ke daerah Bangil menemui Kiai Mu’thi dan belajar ilmu falak kepadanya.
Namun setelah beranjak dewasa semangat untuk menggeluti ilmu falak itu entah
kenapa mengendur. Semangat untuk mendalami ilmu falak itu kembali menggebu-gebu
pada usianya yang ke-33 tahun, setelah mendapat dorongan dari istri tercinta
Marsyadul Ilmi yang 15 tahun lebih muda darinya.
Waktu itu warga daerah setempat membutuhkan
seseorang yang bisa mengukur arah kiblat. Kiai Hasan Basri seakan tidak mau
tahu. Istrinya yang tahu kemampuan suaminya langsung bergumam, ” Ilmu dari
Tuhan, kalau Bapak tidak manfaatkan maka bapak berdosa.” Dorongan istrinya
inilah yang membuatnya bersemangat untuk terus menggeluti ilmu falak. Dia tidak
ingin menyembunyikan ilmu Tuhan. Lagi pula, istrinya selalu memberikan dukungan
agar Kiai Hasan Basri terus mengabdikan dirinya pada ilmu falak. ”Dia rela saya
tinggal satu minggu, karena tahu bukan untuk pribadi saya,” kata Kiai Hasan
Basri. Patokannya, katanya, ilmu itu tidak untuk dijual, jadi bisa dinikmati
dan terus digeluti. (isa)
0 komentar :
Posting Komentar