Aku adalah anak
pertama dalam keluarga dan satu-satunya harapan Ayahku. Ayah dan ibu ku sudah
lama berpisah dan aku hanya tinggal berdua bersama ayahku. Keluargaku adalah
keluarga yang sederhana. Ayah bekerja sebagai pegawai disalah satu pabrik di
dekat rumahku. Dia yang selalu membanting tulang demi membiayakan sekolah dan
kehidupanku sampai saat ini.
Pagi itu aku
berangkat ke sekolah, aku duduk di kelas 3 SMA yang sebentar lagi akan
menghadapi ujian untuk kelulusan. Aku selalu berangkat bersama ayahku ke
sekolah karena sekolahku dengan tempat
kerja ayahku searah, kunikmati setiap langkah-langkah perjalananku bersama
ayahku.
Aku begitu bahagia ketika aku bisa bergandeng tangan bersama ayah,
kadang hatiku ingin selalu menangis takut jika aku tak dapat lagi menggenggam
tangan ayahku kembali dan tak dapat menjejakkan bekas disetiap langkah.
Aku diponis penyakit
kanker otak yang masih pada stadium 2. Setiap malam aku merasa tersiksa dengan
penyakitku ini , tapi ayah selalu mengingatkan ku bahwa “sebenarnya penyakit yang diberikan Tuhan kepadaku hanya untuk
mengikis dosa-dosa kecilku”.Itu kata-kata yang selalu diutarakn oleh ayah
kepadaku. Semenjak itu aku berhenti untuk mengeluh tentang penyakitku ini.
Setiap hari-hari yang
ku lewati sangat begitu sulit, aku tidak bisa melakukan kegiatan yang seperti
teman-temanku lakukan bahkan untuk membantu kondisi ekonomi keluargaku pun aku
ta bisa.
Ayah selalu
memarahiku jika aku ingin mencari kerja sampingan. Suatu hari aku melamar kerja
di suatu toko bangunan dan alhamdulillah aku diterima pada hari itu juga, aku
memulai bekerja dengan hati yang bergembira yang walupun jika ayah ku tau, dia
pasti akan memarahiku.
Tiba-tiba kepalaku sangat sakit saat aku mengangkat
salah satu barang yang dipesan oleh pembeli dan tak sengaja aku tersandung
dengan sebuah kotak yang ada didepanku sehingga membuat kepala ku terbentur
dengan meja didepanku, aku tak sadarkan diri saat itu.
Pemilik toko
membawaku ke rumah sakit dan menghubungi kedua orang tuaku. Tak dapat aku bayangkan
rasa khwatir yang dirasakan oleh ayahku saat mendengarkan kabarku.
Setalah 2 jam berlalu
aku terbangun, yang pertama aku lihat saat aku membuka mata adalah ayah ku,
ayahku kembali yang selalu menjadi orang pertama disetiap aku membuka mataku.
Ayah langsung memeluk erat tubuhku .
Ya Allah, badan ku
terasa sakit dan dada ku begitu terasa sesak, rasa tak sanggung kembali aku
membuka mataku ini. Tapi bagaimanapun aku harus berjuang melawan penyakitku
demi ayah yang selalu berjuang seorang diri.
Saat itu dokter
meminta ayah ku untuk segera menyediakan uang untuk operasiku , yang jumlah nya
sangat besar sekali.
Malam itu ketika
hujan lebat sembari dengan petir yang begitu dahsyatnya, ayahku tak pantang
menyerah dia mencari uang untuk operasiku pada malam hari itu juga, hujan dan
petir tak dihiraukannya dia terus berjalan disetiap toko dan ruko-ruko
disekitar Rumah sakit untuk meminta pinjaman uang.
Betapa berat rasa
hati ayahku saat itu, Ya Allah bantu ayahku....
Setelah beberapa jam
ayah ku berkeliling dengan bajunya yang sudah sangat basah, tak ada satupun
yang dapat diharapkan. Ayah ku saat itu hanya memikirkan satu solusi terakhir
yaitu dengan menjual rumah kami.
Ya Allah... aku sudah
lelah, sudah tak sanggup dan tak ingin menyusahkan ayah ku kembali, aku ikhlas
jika aku harus pergi, aku tidak ingin menjadi beban ayahku .
Tepat pada pukul 11.47. Aku menyempatkan diri disisa
waktu ku untuk menulis surat untuk ayahku.
Setelah aku menulis
surat, tak lama kemudian ada sosok lelaki yang masuk dari pintu dengan baju
yang kusut dan mata yang berkaca-kaca datang menghampiriku, lalu berkata ”Nak aku sudah mendapatkan uang untuk biaya
operasimu, kamu akan sembuh nak dan dapat berkumpul kembali bersama keluarga
kecil kita.” sambil memeluku dengan erat.
Mendengar ucapan ayah
yang seperti itu hatiku semakin berat untuk meninggalkan Ayahku.
Betapa bersyukurnya
aku memiliki seorang ayah seperti beliau dan ini pertama kalinya aku melihat
air mata ayahku yang menetes pada lengan tanganku.
Tapi apa daya aku tak
bisa melawan rasa sakit ini, “Ayah
maafkan aku.” Hanya itu kata yang dapat aku ucapkan untuk yang terkahir
kalinya.
Aku menghembuskan
nafas terakhir dipelukan ayahku , Tuhan telah memanggilku untuk menghadap
kepadaNya. Suara isak tangis pecah pada saat itu, lalu ibu datang memeluk ayah
dan aku.
Ayah melihat secarik
kertas yang ada di genggaman tanganku dan membacanya.
“Ayah...
Maaf, mungkin selama ini aku banyak menyusahkanmu, aku kadang tidak mendengar
segala perintah dan ocehanan mu ketika aku melalukan kesalahan, maaf aku belum
bisa membahagiakanmu. Terimaksih selalu menemani disetiap langkah-langkahku. Terimaksih
selalu menggenggam tanganku ku saat aku berjalan ataupun terjatuh dan terimakasih
sudah menjadi satu-satunya lelaki terhebat dalam hidup ku. Jangan bersedih
ayah, tetap lukiskan senyum mu di atas pelangi walupun tanpa kehadiranku dan
tetaplah berjalan walaupun tak ada bayang langkahkuh.”
*) Dwinurasita
Harini adalah salahsatu anggota PMII Rayon Nusantara, sekarang menempuh studi di Universitas Tribhuwana Tunggdewi Malang, Jurusan Ilmu Keperawatan
bagus bagus tingkatkan karya tuliismu
BalasHapusKalau bisa sedikit diedit lagi EYDnya. Trims (y)
BalasHapustahap editor
BalasHapusHarus bertanggung jawab yang publikasi itu.
BalasHapus