Selasa, 12 Safar 1437 H / 24 November 2015
Islam masuk ke Nusantara dibawa
para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Teori masuknya Islam
ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai Teori Gujarat. Demikian
menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi
para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di
beberapa perguruan tinggi.
Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang
orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan
Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya,
ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim,
dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.
Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum
Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para
pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai
saat itu.
Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka
Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam
di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di
Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di
Polynesia dan Asia Tenggara.
Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum
abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur
perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan
Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman
Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur
membuktikan hal ini.
Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di
Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara.
Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin
bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi
pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang,
Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa
sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan
dagang dengan para pedagang dari Cina.
Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara
dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan
kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab
kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada
tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi,
“kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah
berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya.
Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi
kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100
Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan
Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri
tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425
Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Temuan G. R Tibbets
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera
dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan
Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi
antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia
Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang
antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu.
“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi
tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina
sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu
terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa
menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15
tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun
setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah
pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang
masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan
telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana.
Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian
al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan
pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang
pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu
kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat
Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah
pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga
menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat
sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.
Pembalseman Firaun Ramses II
Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari
berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau
Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini
merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga,
sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam
wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh
Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat
dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut
sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria,
Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah
seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad
ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat
sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan
wewangian dari kapur barus.
Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu
kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman
mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun
sebelum Masehi!
Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal
sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi.
Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya
tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa
komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
Sebuah Tim Arkeolog yang
berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama
dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu
Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah
menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab,
Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan
sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.
Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari
orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki
kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah
(Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di
sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja,
adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi
penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula
penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau
penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (page 1 - Rz)
dilarsir dari http://www.eramuslim.com
dilarsir dari http://www.eramuslim.com
0 komentar :
Posting Komentar