Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam”(1968)
juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh
Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad ke-7 M.
Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini,
misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang
duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok
mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill
(terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries,
St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159).
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam.
Selaras
dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena
mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada
tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang
kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang
dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4)
Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh
Khalif Utsman.
Naskah
Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua
pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah
Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum
dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah.
Mengingat
bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak
kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang
tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu
gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah.
Perjanjian Versailes (Versailes Treaty),
yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang
Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua
peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo
enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman
menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif
Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut
keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb,
Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391).
Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.
Menengok
catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah
berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda
dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu
bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi
dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan
maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang
berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu
terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah
kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha
Sriwijaya.
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah
pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung
Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika
tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih
enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam
seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5
hingga 10 tahun.
Jika
ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa
Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para
shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A..
Kenyataan
inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa
Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan
Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa
sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang
kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal
dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan
cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga
telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
“Sebab
itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para
pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan
tangan terbuka menerima dakwah beliau itu, ” ujar Mansyur yakin.
Dalam
literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai
orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’.
Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara
pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah
mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan.
Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di
pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan
(644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632
M).
Catatan-catatan
kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang
kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi
untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan
Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas,
Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak
sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya
bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai
Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang
datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam
perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang
ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung
besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris
tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.
Bukalah
atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah
Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum
meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di
Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar
ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada
yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini
hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang),
lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Disebabkan
letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal
sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju
Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru
menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang
aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa
oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan
sebutan Serambi Makkah.(Rz/ uha-Tamat)
dilarsir dari http://www.eramuslim.com
islam india gmna
BalasHapus