PMII Unitri Malang, Reorientasi Arah Perjuangan Menuju Tata Organisasi Yang Baik

Sebuah telaah atas perjalan PMII Country Unitri Malang dalam rangka menyambut Harlah ke-11 tahun.
(20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2015)

Proses atau cara dalam setiap perilaku organisasi harus mencerminkan suri tauladan bagi kader maupun masyarakat, hal tersebut tercerminkan oleh pola kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Demikian pula dengan keorganisasian, arah perjuangannya harus jelas, dalam pengertian mampu mengimplementasikan tujuan organisasi dan tujuan kepemimpinan dalam berinteraksi dengan sesama kader maupun masyarakat.

Tindakan tersebut, adalah langkah dasar untuk memperjuangkan visi dan misi setiap organisasi maupun kepemimpinan, agar arah perjuangan diharapkan dapat terarah, terpadu dan berkelanjutan. Sehingga mampu memberikan inovasi baru dalam tata kelola organisasi yang tentunya diharapkan semakin baik dan memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi kader maupun masyarakat.

Seperti halnya visi dan misi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dikembangkan dari dua landasan utama, yakni visi keislaman dan visi kebangsaan. Visi keislaman yang dibangun PMII adalah islam yang inklusif, toleran dan moderat. Sedangkan visi kebangsaan PMII mengidealkan satu kehidupan kebangsaan yang demokratis, toleran, dan dibangun di atas semangat bersama untuk mewujudkan keadilan bagi segenap elemen warga-bangsa tanpa terkecuali.

Dengan visi diatas, misi PMII merupakan manifestasi dari komitmen keislaman dan keindonesiaan, sebagai perwujudan kesadaran beragama, berbangsa, dan bernegara. Dengan kesadaran ini, PMII sebagai salah satu eksponen pembaharu bangsa dan pengemban misi intelektual, berkewajiban dan bertanggung jawab serta komitmen dalam menjaga nilai keislaman dan keindonesiaan yang tersublimasikan dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dan membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan baik spiritual maupun material dalam segala bentuk.

Visi dan misi tersebut kemudian dirumuskan menjadi sebuah tujuan organisasi, yaitu Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang termaktub dalam Anggaran Dasar (AD PMII) BAB IV, Pasal 4.

PMII Unitri Malang kedepan harus merumuskan orientasi kelembagaan yang dapat dijadikan arah perjuangan menuju tata organisasi yang lebih baik. Orientasi yang dimaksud, penulis bagi menjadi tiga kategori penting dalam peninjauan untuk menentukan sikap yang terarah, antara lain adalah orientasi kaderisasi, gerakan dan moral.

Orientasi Kaderisasi

Pandangan umum mengenai kaderisasi suatu organisasi dapat dipetakan menjadi dua ikon secara umum. Pertama, pelaku kaderisasi (subyek). Dan kedua, sasaran kaderisasi (obyek). Untuk yang pertama, subyek atau pelaku kaderisasi sebuah organisasi adalah individu atau sekelompok orang yang dipersonifikasikan dalam sebuah organisasi dan kebijakan-kebijakannya yang melakukan fungsi regenerasi dan kesinambungan tugas-tugas organisasi. Sedangkan yang kedua adalah obyek dari kaderisasi, dengan pengertian lain adalah individu-individu yang dipersiapkan dan dilatih untuk meneruskan visi dan misi organisasi.

Fungsi dari kaderisasi adalah mempersiapkan calon-calon (embrio) untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan sebuah organisasi. Kader suatu organisasi adalah orang yang telah dilatih dan dipersiapkan dengan berbagai keterampilan dan disiplin ilmu, sehingga dia memiliki kemampuan di atas rata-rata yang berbeda dari orang pada umumnya.

Seperti kita ketahui bahwa PMII adalah organisasi pengkaderan. Pengkaderan disini berarti proses bertahap dan terus-menerus sesuai tingkatan dan capaian situasi serta kebutuhan tertentu yang memungkinkan seorang kader dapat mengembangkan potensi akal maupun fisik, moral dan sosialnya. Sehingga kader dapat membantu orang lain dan dirinya sendiri untuk memperbaiki keadan sekarang dan mewujudkan masa depan yang lebih baik. Sesuai dengan cita-cita yang diidealkan melalui nilai-nilai yang diyakini serta misi perjuangan yang di emban.

Kader berasal dari bahasa yunani yang berarti bingkai, bila ditafsirkan lebih luas berarti orang yang mampu menjalankan amanat, memiliki kapasitas keahlian dan kemampuan serta pengetahuan, pemegang tongkat estafet sekaligus membingkai keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi. Kader merupakan ujung tombak sekaligus tulang punggung kontinyuitas sebuah gerakan[1].

Kaderisasi PMII pada hakikatnya adalah totalitas upaya yang di lakukan secara sistematis dan keberlanjutan untuk membina dan mengembangkan potensi kader. Pembinaan dan pengembangan PMII merupakan garis-garis besar pembinaan, pengembangan dan perjuangan sebagai pernyataan kehendak warga PMII yang pada pola dasarnya adalah pengembangan dalam mewujudkan tujuan organisasi.

Untuk mewujudkan tujuan organisasi, tentunya menjadi penting supaya langkah kaderisasi PMII menjadi terarah, terpadu dan berkelanjutan (sustainable) dalam setiap kegiatan, program dan garis perjuangannya yang akan di lakukan.

Orientasi Gerakan

PMII menegaskan dirinya sebagai organisasi intelektual, dimana pemahaman konsepsional atas sesuatunya sangat ditekankan sebelum mentransformasikan konstatasi intelektual itu dalam gerakan sosial, kebudayaan dan politiknya. Bagi PMII, gerakan pemberdayaan jalanan dan praktis lainnya, merupakan derivasi dari kerja-kerja intelektual. Artinya, seluruh gagasan dan konsep yang diproduksi PMII harus berdaya guna dan menguatkan proses social engineering dalam bentuk kongkrit melalui kerja-kerja sosial, politik strategis dan peretasan kebudayaan baru. Pemikiran ini diilhami oleh proposisi yang menghendaki transformasi kehidupan intelektual (individu ataupun kelompok) sebagai investasi sosial, politik dan kebudayaan, (transforming intelectual life for a social, political, and cultural investment)[2].

Liberalisasi pemikiran dalam tubuh PMII sebagai imbas pilihan strategi gerakan intelektualnya yang bertumpu pada 3 (tiga) hal[3], yakni; Pertama, membebaskan diri dari kungkungan tradisi; tradisi bukanlah sesuatu yang harus ditolak mentah-mentah, bukan juga mesti dipegang teguh tanpa reserve, melainkan mesti ditolak secara proposional dan kreatif, serta dikembangkan dengan pendekatan liberal-transformatif. Akibatnya, konservatisme kyai, kejumudan tradisi, dan sakralisasi terhadap berbagai produk pemikiran lama di gugat habis. Sebagai gantinya, para aktifis PMII lebih mengedapankan budaya pemikiran yang bertumpu pada semangat liberasi dan independensi serta menghilangkan tabu intelektual (intelectual taboo), baik di internal PMII maupun komunitas Islam tradisional dan masyarakat luas pada umumnya.

Kedua, melepaskan diri dari beban sejarah; perjalanan dunia Islam selalu diramaikan dengan pertarungan antara normatifitas wahyu dan historisitas pemikiran. Namun, pertarungan ini dimenangkan kelompok fundamentalis-skripturalis, sehingga menimbulkan alergi umat islam terhadap filsafat dan disiplin ilmu pengetahuan umum lainnya. Hal ini kemudian melahirkan pola pikir dan perilaku yang menghendaki islam diberlakukan seperti di zaman Nabi, terpisah dari kehidupan umat/kelompok masyarakat lain dan cenderung menghindari pluralisme. Dalam konteks ini, islam di pahami oleh para aktifis PMII sebagai sesuatu yang berdimensi historis, dimana produk pemahaman masyarakat islam terhadap ajarannya selalu berdialektika dengan dimensi space and time. Sehingga, berbagai produk pemikiran klasik, tidak lagi sebagai beban berat dan mesti dilaksanakan secara taken for granted oleh umat islam era abad informasi ini. Aktifis PMII yang secara sosiologis marginal (ditepikan) dan dikelompokkan dalam masyarakat tradisional (sulit tersentuh modernisasi), mampu melepaskan beban sejarah dan justru menjadikan posisi marginalnya itu sebagai sumber pelecut dirinya untuk melakukan lompatan besar intelektual ke depan meninggalkan kelompok masyarakat lainnya.

Ketiga, menghindarkan diri dari keterjebakan pada ikatan harfiyah teks; cara berfikir dan bersikap kader PMII sekarang ini lebih bercorak substansial-transformatif, ketimbang simbolik dan formal, karenanya setiap persoalan lebih dilihat pada substansinya. Sebab dalam pengalaman selama ini pendekatan formalistik telah banyak mengabaikan substansi. Semangat untuk berfikir verbalistik dengan selalu mengutip ayat dalam setiap pernyataan tidak lagi lazim di kalangan intelektual PMII. Jadi dalam berfikir dan bertindak tidak perlu melihat persoalan islami atau tidak, tetapi lebih pada apa yang dikerjakan itu membawa maslahat bagi kepentingan humanisme universal.

Sejarah pergerakan mahasiswa dengan pemerintah dan elite politik sudah berlangsung sejak lama. Tahun 1966, misalnya, mahasiswa secara lantang menyuarakan isu Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Kemudian tahun 1970 mahasiswa melakukan aksi menentang kenaikan harga minyak serta budaya korupsi di tubuh pemerintahan. Selanjutnya, mahasiswa juga kencang menggugat berbagai persoalan yang dinilai sepihak, tidak adil, dan tidak demokratis seperti peristiwa Malari (Malapetaka lima belas januari) pada tahun 1974, kebijakan pembekuan Dewan Mahasiswa (1978), asas tunggal Pancasila (1984), dan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) tahun 1988.

Berbeda dengan partai poltik yang berorientasi kekuasaan, gerakan mahasiswa memperjuangkan nilai-nilai (values) yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Gerakan mahasiswa adalah seperangkat kegiatan mahasiswa yang bergerak menentang dan mempersoalkan realitas objektif yang dianggap bertentangan dengan realitas subjektif mereka. Hal itu termanifestasikan melalui aksi-aksi politik dari yang bersifat lunak hingga sangat keras seperti penyebaran poster, tulisan di media massa, diskusi-diskusi politik, lobi, dialog, petisi, mogok makan, mimbar bebas, pawai di kampus, mengunjungi lembaga kenegaraan, turun ke jalan secara massal, perebutan dan pendudukan fasilitas-fasilitas strategis seperti lembaga kenegaraan, stasiun radio serta televisi, dan lain-lain.

Manifestasi aksi-aksi politik tersebut terdorong karena adanya nilai-nilai yang di anggap “suci”, “universal”, dan ideal, akan tetapi kesediaan untuk berkorban demi tegaknya nilai-nilai yang dianggap ideal adalah investasi utama bagi lahirnya radikalisme mahasiswa. Namun seringkali idealisme dan radikalisme gerakan mahasiswa tidak diiringi dengan kalkulasi-kalkulasi yang strategis dan taktis. Gerakan mahasiswa sering berjalan terlalu berani namun terlalu lurus tanpa perhitungan yang matang. Akibatnya, gerakan mahasiswa mudah sekali dibaca, dikendalikan, dan akhirnya dimanfaatkan gerakan kelompok kepentingan.

Berada dalam kondisi yang labil, gerakan mahasiswa kehilangan arah. konsistensi dalam mengawal konstitusi berubah orientasi seiring dengan merebaknya wacana-wacana hedonism di dalam kampus. maka, orientasi gerakan mengarah pada ruang kecil yang berada dekat dengan lingkungan sekitar kampus. membangun masyarakat dengan mutu keilmuan yang didapat, mengabdi bagi masyarakat sekitar yang lebih dekat mengarah pada permasalahan seputar sosial dan kebudayaan.

Orientasi Moral

Moral adalah suatu tendensi rohani untuk melakukan seperangkat standar dan norma yang mengatur perilaku seseorang dan masyarakat. Pengertian moral kali ini erat hubungannya dengan akhlak manusia ataupun fitrah manusia yang diciptakan memang dengan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk[4].

Moral merupakan sebuah tolak ukur. Moral dapat digunakan untuk mengukur kadar baik dan buruknya sebuah tindakan manusia sebagai manusia, mungkin sebagai anggota masyarakat (member of society) atau sebagai manusia yang memiliki posisi tertentu atau pekerjaan tertentu[5].

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai kholifah yang bertugas untuk mengelola apa yang ada di dunia ini dengan cara yang baik sesuai dengan petunjuk dalam al-quran dan hadist. Hakikat seorang manusia adalah seorang makhluk individu sekaligus makhluk sosial yang memiliki hak dan kewajiban untuk saling berinteraksi dengan sesama manusia.

Maka, manusia berhadapan dengan dua realitas yang khas bagi kehidupan. Di satu pihak, kebebasan sosial kita dibatasi oleh masyarakat, di lain pihak kebebasan eksistensial menuntut otonomi moral. Keduanya diperlukan agar eksistensi manusia menjadi nyata, yaitu masyarakat yang menentukan bagaimana kita harus hidup, dan kesadaran bahwa kita sendirilah yang harus mempertanggung-jawabkan sikap dan tindakan kita.

Kerangka Refleksi

Selama kurang lebih satu dasawarsa berlalu, PMII Unitri Malang mencoba berbagai formulasi arah perjuangan, baik dalam penataan aparatur kelembagaan, formulasi kaderisasi, gerakan dan moralitas kader. Hal itu dilakukan untuk menemukan format dalam aspek perjuangan, sehingga untuk dapat mewujudkan tujuan organisasi, penting untuk dilakukan langkah perjuangan PMII Unitri Malang menjadi terarah, terpadu dan berkelanjutan.

Kenapa harus orientasi kaderisasi, gerakan dan moral?, sebagai organisasi yang telah berumur kurang lebih 11 tahun, terhitung 20 Oktober 2015 mendatang. PMII Unitri Malang sudah harus menggiatkan peninjauan ulang terhadap kondisi kaderisasi, gerakan dan moralnya. Sesuaikah kemudian dengan skema pengkaderan dan gerakan yang ada? Ataukah hanya membiasakan diri dengan merawat “budaya” turun temurun? Jika demikian, sudahkah selaras dengan tujuan organisasi output yang dihasilkan?

Tugas terberat kaderisasi yang hendak dicapai dalam PMII bila dibagi secara umum ada tiga titik. Pertama, membangun individu yang percaya dengan kapasitas individualitasnya sekaligus memiliki keterikatan dengan kolektivitas, yakni individu yang menemukan kesadaran subyek, namun pada saat yang sama tetap berkesadaran primordial. Kedua, membebaskan individu dari belenggu-belenggu yang tercipta dari sejarah, tanpa memangkas individu tersebut dari sejarah itu sendiri. Kita mengidealkan lahirnya kader yang tidak mudah menyerah oleh tekanan sejarah sekaligus mampu memahami medan gerak sejarah serta mampu bergerak didalamnya. Dan ketiga, membangun keimanan, pengetahuan dan keterampilan sekaligus. Pengetahuan bukan semata-mata olah intelek, melainkan juga pemahaman kenyataan atau medan gerakan. Termasuk tatapan kritis dan keyakinan kader terhadap jalannya gerakan.

Perlu diketahui bahwa dalam pengkaderan PMII ada lima argumentasi mengapa harus melakukan kaderisasi: Pertama, pewarisan nilai-nilai (argumentasi idealis), pengkaderan sebagai media pewarisan nilai-nilai luhur yang difahami, dihayati dan diacu oleh PMII. Kedua, pemberdayaan anggota (argumentasi strategis), pengkaderan merupakan media bagi anggota maupun kader untuk menemukan dan mengasah potensi potensi-potensi individu yang masih terpendam. Ketiga, memperbanyak anggota (argumentasi praktis), kuantitas anggota sering menjadi indikator keberhasilan organisasi, meski hal tersebut tidak bersifat mutlak. Setidaknya semakin banyak anggota, maka sumber daya manusia semakin besar. Keempat, persaingan antar kelompok (argumentasi pragmatis), hukum alam yang berlaku di tengah masyarakat adalah kompetensi. Melalui pengkaderan, PMII menempa kadernya untuk menjadi lebih baik dan ahli daripada organisasi yang lain. tentunya dengan harapan, apabila PMII berhasil memenangkan persaingan, kemenangan tersebut membawa kebaikan bersama. Kelima, mandat organisasi (argumentasi administratif), regenerasi merupakan bagian mutlak dalam organisasi, dan regenerasi hanya mungkin terjadi melalui pengkaderan. Oleh karena menjadi mandat organisasi, maka pengkaderan harus selalu diselenggarakan.

Kerangka Aksi
Oleh karena itu, PMII terlebih adalah Komisariat Country Unitri Malang harus mengantisipasi berbagai hal, pertama, antisipasi munculnya otonomi gerakan yang berimplikasi terhadap jalannya disiplin kesamaan gerak, ideologi dan cara pandang dalam mencapai tujuan organisasi. Kedua, liberalisasi organisasi yang akan berakibat pada lemahnya komando, intruksi. Dan ketiga, harus mampu menjawab dan menunjukkan secara konsesional antara memperkuat ideologi dengan kapasitas.

Pada akhirnya anggota maupun kader PMII akan mendapatkan tiga hal, pertama, belajar keorganisasian dan kepemimpinan secara baik, kedua, belajar pengembangan akademik sehingga melahirkan kompetensi yang fokus dan bagus, ketiga, belajar ideologi, sehingga kader menjadi pribadi yang kuat dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Pandangan akhir dari kerangka refleksi dan aksi diatas, PMII mendorong terhadap tercapainya tujuan organisasi, yang terbingkai dalam trilogi PMII (tri motto, tri khidmat dan tri komitmen) dengan citra diri sebagai makhluk Ulul Albab.

“Revolusi Prancis, mendudukkan harga manusia pada tempatnya yang tepat.
Dengan hanya memandang manusia pada satu sisi,
sisi penderitaan semata, orang akan kehilangan sisinya yang lain.”
( Pramoedya Ananta Toer, 1996)

Ahmad Fairozi, dulu sebagai penghidang kopi dan masak nasi di sekretariat PMII Country Unitri Malang.


[1] Hasanuddin Wahid 2006, Multi Level Strategi, PB PMII
[2] Ben Agger 1992, Cultural Studies As Critical Theory
[3] Mun’im DZ. 2000, Islam di Tengah Arus Transisi
[4] Zainuddin Saifullah Nainggolan 1997, Pandangan Cendekiawan Muslim Tentang Moral Pancasila, Moral Barat, Dan Moral Islam
[5] Sonny Keraf 2010, Etika Lingkungan Hidup
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar :

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com